Jumat, 29 Agustus 2014

Empat Hadits Inti dalam Syariat



Sebenarnya, jika kita mengkaji hadits-hadits Nabi secara mendalam, tidak hanya sekedarnya saja, kita akan menemukan bahwa seluruh rangkaian hadits yang disampaikan Nabi adalah ensiklopedi raksasa yang berbicara dengan sangat lengkap tentang segala hal dalam kehidupan. 

Harus kita akui bersama bahwa bisa dibilang kalau kita ini masih cukup sedikit mempelajari hadits-hadits Nabi secara intensif. Atau hanya membaca, lewat, itupun juga terjemah. 

Atau baru mempelajari hadits secara intensif semisal kumpulan hadits-hadits kecil Arba'in Nawawi. Lumayan lah daripada tidak sama sekali. 

Bisa dibilang kita sering mendengar atau membaca kata "HR. Bukhori", "HR. Muslim", tapi apa banyak di antara kita yang pernah tahu bentuk kitabnya? Alih-alih mempelajarinya secara intensif perhadits dari awal sampai akhir. 

Jika melihat kenyataan ini, perlu kita akui bahwa kita belum menangguk apapun dalam dunia raksasa ilmu hadits, sementara di sana ada 6 Kitab ensiklopedi hadits yang jadi rujukan utama Ummat Islam. 6 kitab ini dikenal dg "kutubus sittah". 

Pengalaman pribadi penulis, mempelajari satu persatu hadits secara intensif dalam 6 ensiklopedi tadi membutuhkan waktu 10 tahun. Itupun kualitas pengetahuan agama penulis masih seperti ini saja, memprihatinkan. 

Namun dari sekian lama berkutat dengan dunia ilmu hadits ada 4 hadits yang cukup menarik dan bisa dibilang bahwa 4 hadits tadi jika didalami, sudah cukup bagi bekal kehidupan seorang muslim di manapun. Secara umum. 

Tentu intisari 4 hadits ini pun juga penulis dapat dari para Ulama sebelumnya, dan kali ini ingin penulia
S share pada pembaca semua, moga manfaat. 

Hadits Pertama, Innamal a'mal bin-niyah. Bahwa segala tindakan, segala ekspresi dan apresiasi, tergantung kepada niat. Yakni jika niatnya baik, maka dihitung baik, dan begitu sebaliknya. Atau jika tidak ada niat maka lewat begitu saja. 

Hadits Kedua, min husni Islamil mar'i tarkuhu maa laa ya'nih. Bahwa jika kita ingin kualitas keislaman kita bagus, jadi muslim yang baik, maka tinggalkan segala hal yang tidak perlu dan tidak penting. Kerjakan lebih dulu yang menjadi prioritas. Sebab terus terang kita masih cukup banyak mengurusi hal-hal tak penting. 

Ironisnya, banyak di antara kita tidak tahu bahwa yang dilakukan atau dikatakan itu ternyata hal-hal yang tidak penting. Ini terjadi akibat hilangnya fiqh awlawiyat (prioritas). 

Lebih menyedihkan jika hal tak penting itu didebatkusirkan, pakai bahasa ilmiah segala sehingga terlihat intelek, padahal tidak penting. 

Hadits Ketiga, laa yu'minu ahadukum hatta yuhibba li akhihi maa yuhibbu li nafsih. Bahwa seseorang imannya belum mencapai kesempurnaan jika belum bisa gembira saat melihat saudaranya sesama muslim meraih kesuksesan. Maksudnya, kalau kita sukses, kita juga mesti seneng saat melihat yang lain juga sukses. Atau bahagia saat orang lain sesukses kita. 
Tapi faktanya hati kita diam-diam masih busuk, seneng bukan buatan saat melihat yang lain tidak sukses, atau iri luar biasa atas kesuksesan orang lain. 

Maka kualitas pribadi muslim yang masih suka melakukan hal-hal tak penting atau kerap iri, mulai sekarang harus kita ubah pelan-pelan. 

Hadits Keempat, al-halal bayyin, wal harom bayyin. Segala hal yang halal itu sudah jelas, yang diharamkan agama juga sudah jelas. Namun kenyataannya tak sedikit di antara kita masih membingungkan hal-hal yang sudah jelas halalnya/haramnya. Malah menerjang yang diharamkan. 

Andai kata seseorang tidak belajar hadits apapun tapi cukup 4 tadi secara mendalam dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari maka sudah cukup baginya untuk menempuh kehidupan ini dengan damai, tentram dan aman. Juga sangat cukup buat keislaman dirinya. 

Sebenarnya syariat kita ini simpel saja. Yang membuatnya ribet adalah diri kita sendiri sebab tidak mau mempelajarinya melalui jalurnya. 


Sekian catatan kali ini, moga menambah ilmu (catat ya, ini ilmu, bukan informasi). Tanam kuat-kuat dalam benak kita 4 hadits inti tadi. Salam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar