LEGENDA ACEH "PUTRI PUKES" MANUSIA MENJADI BATU
GUA Putri Pukes merupakan salah satu objek wisata di Kabupaten Aceh Tengah. Ceritanya diriwayatkan sebagai legenda antara mitos dan fakta. Betul tidaknya legenda Putri Pukes, hingga sekarang belum ada yang bisa memastikannya. Gua Putri Pukes tempat legenda itu diceritakan, kini sudah menjadi tempat wisata, tetapi sangat di sayangkan gua tempat manusia yang menjadi batu itu sudah disemen dan ditambah-tambah sehingga tidak lagi alami.
Di dalam gua Putri Pukes tersebut terdapat batu yang dipercayai adalah Putri Pukes yang telah menjadi batu, sumur besar, kendi yang sudah menjadi batu, tempat duduk untuk bertapa orang masa dahulu, alat pemotong zaman dahulu.
Abdullah, penjaga gua, Selasa (9/3) kepada Harian Aceh menceritakan, batu putri pukes tersebut membesar karena kadang-kadang batu tersebut menangis sehingga air mata yang keluar tersebut menjadi batu dan makin lama batu tersebut makin membesar.
Sementara sumur besar kata Abdullah, setiap tiga bulan air di sumur tersebut kering dan tidak ada air nya, bila ada air orang pintar akan datang untuk mengambil air tersebut. Sedangkan kendi yang telah menjadi batu tersebut pernah bawa oleh orang, tetapi dikembalikan lagi karena dilanda resah setelah mengambilnya. “Sedangkan tempat bertapa itu di gunakan oleh orang zaman dahulu untuk melakukan bertapa guna mencari ilmu dan alat pemotong (pisau) peninggalan manusia purbakala kata yang ditemukan di dalam goa putri pukes,” jelas Abdullah.
Tidak semua orang Gayo mengetahui cerita legenda Putri Pukes, sebagian dari orang Gayo itu mengetahui legenda itu tetapi tidak mengetahui bagaimana ceritanya. Menurut cerita dan informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber yang mengetahui tentang legenda Putri Pukes.
Gua Putri Pukes terletak di sebelah utara, tepatnya di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah Putri Pukes merupakan nama seorang gadis kesayangan dan anak satu-satunya yang berasal dari sebuah keluarga di Kampung Nosar, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah.
Suatu hari dia, dijodohkan dengan seorang pria yang berasal dari Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah (sekarang Kabupaten Bener Meriah). Pernikahan pun dilaksanakan, berdasarkan adat setempat.
Mempelai wanita harus tinggal dan menetap di tempat mempelai pria. Setelah resepsi pernikahan di rumah mempelai wanita selesai, selanjutnya kedua mempelai diantar menuju tempat tinggal pria. Pihak mempelai wanita diantar yang dalam bahasa gayo disebut ‘munenes’ ke rumah pihak pria ke Kampung Simpang Tiga Bener Meriah.
Pada acara ‘munenes’ pihak keluarga mempelai wanita dibekali sejumlah peralatan rumah tangga seperti kuali, kendi, lesung, alu, piring, periuk dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Adat ‘munenes’ biasanya dilakukan pada acara perkawinan yang dilaksanakan dengan sistem ‘juelen’, dimana pihak wanita tidak berhak lagi kembali ke tempat orangtuanya.
Berbeda dengan sistem ‘kuso kini’ (kesana kemari) atau ‘angkap’. Kuso kini, pihak wanita berhak tinggal di mana saja, sesuai kesepakatan dengan suami. Sementara sistem ‘angkap’, adalah kebalikan dari ‘juelen’, pada sistem perkawinan ini, pihak lelaki diwajibkan tinggal bersama keluarga pihak wanita, disebabkan pihak wanita yang mengadakan lamaran terlebih dahulu.
Pernikahan ini juga disebabkan beberapa hal antara lain, mempelai pria sebelumnya meminta atau mengemis kepada wali mempelai wanita untuk dinikahkan dengan putrinya, dengan alasan sangat mencintainya. Sehingga sebagai persyaratannya, pihak pria harus tinggal bersama keluarga mempelai wanita.
Disinilah detik-detik terjadinya peristiwa sehingga nama Putri Pukes terkenal hingga sekarang, saat akan melepas Putri Pukes dengan iringan-iringan pengantin, ibu Putri Pukes berpesan kepada putrinya yang sudah menjadi istri sah mempelai pria. “Nak…sebelum kamu melewati daerah Pukes yaitu daerah rawa-rawa sekarang menjadi Danau Laut Tawar. Kamu jangan penah melihat ke belakang,” kata ibu Putri Pukes.
Sang putri pun berjalan sambil menangis dan menghapus air matanya yang keluar terus menerus. Karena tidak sanggup menahan rasa sedih, membuat putri lupa dengan pantangan yang disampaikan oleh ibunya tadi. Secara tak sengaja putri menoleh ke belakang, dengan tiba-tiba putri pukes langsung berubah menjadi batu seperti seperti yang sekarang kita jumpai di dalam Gua Putri Pukes. Apakah itu hanya mitos atau memang benar-benar terjadi, tetapi warga setempat percaya kalau cerita Putri Pukes itu benar ada.
Setahun yang lalu tepatnya maret 2009 Tim Arkeologi dari Medan Sumatera yang melakukan penelitian situs sejarah di Takengon, Aceh Tengah menemukan kerangka manusia purba yang diperkirakan berusia 3.500 tahun di Gua Putri Pukes.
Tim Arkeologi tersebut terdiri dari 15 orang itu beranggotakan Lucas Partanda Koestoro, DEA, Dra. Nenggih Susilowati, Defri Elias Simatupang, SS, Stanov Purnawibowo, SS, Taufiqurahman, SS, Dra. Suriatani Supriyadi, Suhadi S. Sos, Dra. Jufrida, Dekson, Masdar, Pesta H. H. Siahaan, Briska, Umi N. Syahra, Sopingi Silalahi dan ketua Tim Ketut Wiradnyana.
Menurut Ketut pada waktu itu, kerangka itu terdiri dari tulang paha dan sejumlah peralatan milik manusia purba seperti kapak batu dan lempengan gerabah, saat menemukan kerangka berupa tulang belakang paha kaki dan pinggul ditemukan dalam posisi tertindih batu.
Saat melakukan penelitian setahun lalu itu, Ketut menjelaskan, komunitas orang-orang purba di situs ini mempunyai kebiasaan mengebumikan mayat dengan menindihkan batu diatasnya untuk menghindari mayat tidak dimakan binatang buas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar