Kamis, 09 Januari 2014



Kunci-Kunci Surga



Ibarat sebuah pintu, surga membutuhkan sebuah kunci untuk membuka pintu-pintunya. Namun, tahukah Anda apa kunci surga itu? Bagi yang merindukan surga, tentu akan berusaha mencari kuncinya walaupun harus mengorbankan nyawa.

Tetapi Anda tak perlu gelisah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan pada umatnya apa kunci surga itu, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang mulia, beliau bersabda:
“Barang siapa mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan penuh keikhlasan, maka dia akan masuk surga.“ (HR. Imam Ahmad dengan sanad yang shahih).
Ternyata, kunci surga itu adalah Laa ilaahaa illallah, kalimat Tauhid yang begitu sering kita ucapkan. Namun semudah itukah pintu surga kita buka? Bukankah banyak orang yang siang malam mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, tetapi mereka masih meminta-minta (berdoa dan beribadah) kepada selain Allah, percaya kepada dukun-dukun dan melakukan perbuatan syirik lainnya? Akankah mereka ini juga bisa membuka pintu surga? Tentu tidak mungkin!
Dan ketahuilah, yang namanya kunci pasti bergerigi. Begitu pula kunci surga yang berupa Laa ilaaha illallah itu, ia pun memiliki gerigi. Jadi, pintu surga itu hanya bisa dibuka oleh orang yang memiliki kunci yang bergerigi.
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya (3/109), bahwa seseorang pernah bertanya kepada Al Imam Wahab bin Munabbih (seorang tabi’in terpercaya dari Shan’a yang hidup pada tahun 34-110 H), “Bukankah Laa ilaaha illallah itu kunci surga?” Wahab menjawab: “Benar, akan tetapi setiap kunci yang bergerigi. Jika engkau membawa kunci yang bergerigi, maka pintu surga itu akan dibukakan untukmu!”
Lalu, apa gerangan gerigi kunci itu Laa ilaaha illallah itu?
Ketahuilah, gerigi kunci Laa ilaaha illallah itu adalah syarat-syarat Laa ilaaha illallah. Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qashim Al Hambali An-Najdi rahimahullah, penyusun kitab Hasyiyyah Tsalatsatil Ushul, pada halaman 52 kitab tersebut menyatakan, syarat-syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, yaitu:
Pertama: Al ‘Ilmu (mengetahui)

Maksudnya adalah Anda harus mengetahui arti (makna) Laa ilaaha illallah secara benar. Adapun artinya adalah: “Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Seandainya Anda mengucapkan kalimat tersebut, tetapi Anda tidak mengerti maknanya, maka ucapan atau persaksian tersebut tidak sah dan tidak ada faedahnya.
Kedua: Al Yaqin (Meyakini)

Maksudnya adalah Anda harus menyakini secara pasti kebenaran kalimat Laa ilaaha illallah tanpa ragu dan tanpa bimbang sedikitpun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” (HR. Muslim).
Ketiga: Al Qobul (Menerima)

Maksudnya Anda harus menerima segala tuntunan Laa ilaaha illallah dengan senang hati, baik secara lisan maupun perbuatan, tanpa menolak sedikit pun. Anda tidak boleh seperti orang-orang musyirik yang digambarkan oleh Allah dalam Al Qur’an:

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ * وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ
“Orang-orang yang musyrik itu apabila di katakan kepada mereka: (ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” (Ash Shaffat: 35-36).
Keempat: Al Inqiyad (Tunduk Patuh)

Maksudnya Anda harus tunduk dan patuh melaksanakan tuntunan Laa ilaaha illallah dalam amal-amal nyata. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ
“Kembalilah ke jalan Tuhanmu, dan tunduklah kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 54).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” (Luqman: 22).
Kelima: Ash Shidq (Jujur atau Benar)

Maksudnya Anda harus jujur dalam melaksanakan tuntutan Laa ilaaha illallah, yakni sesuai antara keyakinan hati dan amal nyata, tanpa disertai kebohongan sedikit pun.

Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Keenam: Al Ikhlas (Ikhlas)

Maksudnya Anda harus membersihkan amalan Anda dari noda-noda riya’ (amalan ingin di lihat dan dipuji oleh orang lain), dan berbagai amalan kesyirikan lainnya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah Azza wa Jalla.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ketujuh: Al Mahabbah (Cinta)
Maksudnya Anda harus mencintai kalimat tauhid, tuntunannya, dan mencintai juga kepada orang-orang yang bertauhid dengan sepenuh hati, serta membenci segala perkara yang merusak tauhid itu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada yang menbuat tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dicintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah di atas segala-galanya).” (Al-Baqarah: 165).
Dari sini kita tahu, Ahlut Tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahlus syirik mencintai Allah dan mencintai tuhan-tuhan yang lainnya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan isi kandungan Laa ilaaha illallah.(ed,).
Kedelapan: Al Kufru bimaa Siwaahu (Mengingkari Sesembahan yang Lain)
Maksudnya Anda harus mengingkari segala sesembahan selain Allah, yakni tidak mempercayainya dan tidak menyembahnya, dan juga Anda harus yakin bahwa seluruh sesembahan selain Allah itu batil dan tidak pantas disembah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
“Maka barang siapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh pada ikatan tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus….” (Al-Baqarah: 256).
Saudaraku kaum muslimin, dari sini dapatlah kita ketahui, bahwa orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah hanya dengan lisannya tanpa memenuhi syarat-syaratnya, dia bagaikan orang yang memegang kunci tak bergerigi, sehingga mustahil baginya untuk membuka pintu surga, walaupun dia mengucapkannya lebih dari sejuta banyaknya. Karena itu perhatikanlah!
Wallahu a’lamu bish shawwab.
http://blog.wira.web.id/2010/02/10/kunci-surga

Setiap muslim tentu menginginkan untuk masuk ke dalam surga dan selamat dari api neraka, untuk itu marilah kita memperhatikan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berikut ini,


مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ


“Barangsiapa yang akhir ucapannya (sebelum mati) adalah kalimat Laa ilaaha illallah maka dia akan masuk surga.” [HR. Abu Daud dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Shahihul Jami’: 11425]


kunci surga adalah kalimat Laa ilaaha illallah. Ibarat sebuah rumah, surga memiliki pintu yang harus dibuka dengan sebuah kunci, itulah kalimat Laa ilaaha illallah. Akan tetapi, kenyataannya tidak semua orang yang memiliki kunci tersebut mampu membuka pintu surga, dikarenakan kunci mereka tidak bergerigi.


Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya,


وَقِيلَ لِوَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَلَيْسَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مِفْتَاحُ الْجَنَّةِ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلاَّ لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلاَّ لَمْ يُفْتَحْ لَكَ


“Dan pernah dikatakan kepada Wahb bin Munabbih rahimahullah, “Bukankah Laa ilaaha illallah adalah kunci surga?” Beliau menjawab, “Benar, akan tetapi tidak ada sebuah kunci kecuali memiliki gerigi, maka apabila engkau datang dengan kunci bergerigi akan dibukakan pintu surga untukmu, jika tidak maka tidak akan dibukakan untukmu”.”


Oleh karena itu, penting sekali bagi setiap hamba untuk memahami kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dengan baik dan mengamalkannya. Sebab tidak ada manfaatnya sama sekali jika seseorang hanya mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah, meskipun dia berzikir dengannya seribu kali setiap hari, tanpa memahami dan mengamalkannya, inilah yang dimaksud memiliki kunci tanpa gerigi.


Makna Syahadat


Kata syahadat (الشهادة) yang biasa diterjemahkan dengan “persaksian” berasal dari kata (شهد) secara bahasa maknanya adalah,


أن يخبر بما رأى وأن يقر بما علم


“Seorang yang mengabarkan apa yang dia lihat dan menetapkan (meyakini) apa yang dia ketahui.” [Al-Mu’jamul Washit, 1/497]


Adapun maknanya secara syari’at, berkata Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah,


من شهد أن لا إله إلا الله أى من تكلم بها عارفا لمعناها عاملا بمقتضاها باطنا وظاهرا فلابد فى الشهادتين من العلم واليقين والعمل بمدلولها


“Seorang yang bersyahadat Laa ilaaha illallah adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan mengetahui maknanya, mengamalkan konsekuensinya secara batin dan lahir. Maka harus ada dalam dua kalimat syahadat; ilmu, yakin dan mengamalkan kandungannya.” [Fathul Majid, hal. 65-66]


Dari penjelasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa syahadat Laa ilaaha illallah yang benar apabila terpenuhi 4 syarat:


1)      Ilmu tentang Laa ilaaha illallah


2)      Yakin terhadap benarnya Laa ilaaha illallah


3)      Mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah


4)      Mengamalkan makna Laa ilaaha illallah


Adapun sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallah tanpa memahami maknanya, atau tanpa meyakini dan mengamalkannya maka ulama seluruhnya sepakat (ijma’) bahwa syahadat tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali. Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,


أما النطق بها من غير معرفة لمعناها ولا يقين ولا عمل بما تقتضيه : من البراءة من الشرك وإخلاص القول والعمل قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح فغير نافع بالإجماع


“Adapun sekedar mengucapkan syahadat tanpa memahami maknanya, tidak pula meyakini dan mengamalkan konsekuensinya, yaitu berlepas diri dari syirik dan mengikhlaskan ucapan dan perbuatan, baik ucapan hati dan lisan, maupun amalan hati dan lisan (jika tidak dipersembahkan hanya bagi Allah) maka ucapan tersebut tidak bermanfaat berdasarkan kesepakatan ulama.” [Fathul Majid, hal. 66]


Makna Laa ilaaha illallah


Seluruh dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa makna laa ilaaha illallah adalah,


لا معبودَ حقٌّ إلا الله


“Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.”


Artinya, segala sesuatu yang disembah oleh manusia selain Allah ta’ala adalah sesembahan yang salah (batil), karena tidak ada sesembahan yang benar (haq) kecuali Allah tabaraka wa ta’ala. Sebagaimana telah Allah ta’ala tegaskan dalam Al-Qur’an,


ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ


“Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dia-lah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain dari Allah adalah salah.” [Al-Hajj: 62 dan Luqman: 30]


Rukun Laa ilaaha illallah


Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa kalimat Laa ilaaha illallah mencakup dua rukun, yaitu:


~  An-Nafyu (penafikan) yang terdapat dalam kalimat Laa ilaaha, yang bermakna menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah ta’ala.


~  Al-Itsbat (penetapan) yang terdapat dalam kalimat illallah, yang bermakna menetapkan atau meyakini bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah ta’ala.


Seorang hamba belum dianggap sebagai muslim sebelum dia mengamalkan dua rukun ini. Andaikan ada seorang hamba yang beribadah kepada Allah ta’ala; melakukan sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya, namun dia tidak meyakini bahwa Allah ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah salah maka dia bukan muslim atau menjadi murtad karena tidak mengamalkan kalimat Laa ilaaha illallah yang merupakan pintu untuk masuk ke dalam Islam.


Kedua rukun ini terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah ta’ala,


فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى


“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” [Al-Baqarah: 256]


Firman Allah ta’ala, “Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah)” adalah penafikan seluruh sesembahan selain Allah ta’ala. Adapun firman-Nya, “Dan hanya beriman kepada Allah” adalah penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar.


Syarat Laa ilaaha illallah


Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa syarat Laa ilaaha illallah itu ada delapan, barangsiapa yang tidak mengamalkan salah satu darinya maka dia belum mengamalkan kalimat Laa ilaaha illallah, yaitu:


Syarat Pertama: Ilmu, yaitu memahami makna dan rukun Laa ilaaha illallah secara benar. Allah ta’ala berfirman,


فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلاَّ اللَّه


“Maka berimulah bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah.” [Muhammad: 19]


Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّة


“Barangsiapa mati dalam keadaan berilmu bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, niscaya dia akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu]


Jika seseorang tidak memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah maka tidak bermanfaat syahadat yang diucapkannya.


Syarat Kedua: Yakin, yakni meyakini kebenaran makna dan rukun kalimat Laa ilaaha illallah tanpa meragukannya sedikitpun. Allah ta’ala berfirman,


إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا


“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” [Al-Hujurat: 15]


Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ


“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah sambil membawa dua kalimat syahadat tersebut tanpa ragu kecuali pasti dia akan masuk surga.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]


Syarat Ketiga: Menerima (Al-Qobul), yaitu menerima dengan sepenuh hati konsekuensi kalimat Laa ilaaha illallah berupa penetapan bahwa hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah salah, tidak boleh menolak sedikitpun, baik dengan hati, lisan maupun perbuatan. Menolak kalimat Laa ilaaha illallah adalah sifat kaum musyrikin. Allah ta’ala berfirman,


إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ


“Kaum musyrikin itu apabila di katakan kepada mereka: (Ucapkanlah) Laa ilaaha illallah, mereka menyombongkan diri seraya berkata: Apakah kita harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kita hanya karena ucapan penyair yang gila ini?” [As-Shaffat: 35-36]


Syarat Keempat: Tunduk dan Patuh (Al-Inqiyad), yaitu dengan mengamalkan makna dan rukun Laa ilaaha illallah, hanya beribadah kepada Allah ta’ala dan menjauhi segala sesembahan selain-Nya, disertai dengan mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Allah ta’ala berfirman,


وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى


“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya (tunduk) kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah).” [Luqman: 22]


Syarat Kelima: Jujur dan benar (Ash-Shidqu), yaitu jujur dan benar dalam beriman terhadap Laa ilaaha illallah, tanpa mengandung kedustaan sedikitpun dalam hati. Kedustaan dalam keimanan adalah sifat orang-orang munafik. Allah ta’ala berfirman,


إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ


“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” [Al-Munafiqun: 1]


Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda,


مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ


“Tidaklah seseorang itu bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya, dia mengucapkannya dengan jujur dari lubuk hatinya, melainkan pasti Allah mengharamkan neraka atasnya.” [HR. Al-Bukhari dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu]


Syarat Keenam: Ikhlas, yaitu benar-benar ikhlas dari dalam hatinya semata-mata karena Allah ta’ala, bukan karena maksud dan tujuan lainnya. Allah ta’ala berfirman,


فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَهُ الدِّينَ أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ


“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang ikhlas (bersih dari syirik).” [Az-Zumar: 2-3]


Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,


أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاََ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ


“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau dirinya.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]


Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam,


فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّه


“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah semata-mata hanya untuk mengharapkan wajah Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Itban bin Malik radhiyallahu’anhu]


Syarat Ketujuh: Mencintai (Al-Mahabbah), yaitu mencintai kalimat tauhid dan konsekuensinya berupa pemurnian ibadah kepada Allah ta’ala dan pengingkaran terhadap penghambaan kepada selain-Nya. Memurnikan cinta kepada Allah ta’ala adalah bagian dari tauhid. Allah ta’ala berfirman,


وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ


“Dan diantara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan (sekutu) selain Allah yang dia cintai layaknya mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman, sangat mencintai Allah diatas segala-galanya).” [Al-Baqarah: 165]


Syarat Kedelapan: Pengingkaran (Al-Kufran) terhadap semua sesembahan selain Allah ta’ala, yaitu menyalahkan semua sesembahan selain Allah ta’ala, tidak mempercayainya dan tidak pula menyembahnya, karena sesembahan yang benar dan patut diibadahi hanyalah Allah ta’ala. Allah ta’ala berfirman,


فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


“Maka barangsiapa mengingkari thoghut (sesembahan selain Allah) dan hanya beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh dengan ikatan yang amat kokoh (yakni kalimat Laa ilaaha illallah), yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]


Kesalahan-kesalahan dalam Menafsirkan Laa Ilaaha Illallah


Kesalahan Pertama: Tafsir Ahlul Kalam / Filsafat: Menafsirkan kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Pencipta Selain Allah [لا خالق إلا الله].


Benar bahwa tidak ada pencipta selain Allah ta’ala, namun hal itu bukanlah makna Laa ilaaha illallah. Dan jika makna ini diterima maka konsekuensinya kita harus menganggap orang-orang yang menyekutukan Allah dalam ibadah yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah orang-orang yang beriman, sebab mereka juga beriman bahwa Allah ta’ala sang Pencipta. Allah ta’ala berfirman,


وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ


“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada kaum musyrikin itu: “Siapakah yang menciptakan mereka,” niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” [Az-Zukhruf: 87]


Kesalahan Kedua: Tafsir Sufi / Tasawuf: Menafsirkan kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Sesembahan Yang Wujud Kecuali Allah [لا إله موجود إلا الله].


Artinya menurut mereka, seluruh sesembahan yang ada adalah Allah, bahkan orang yang sudah mencapai derajat tertentu menurut paham sesat mereka dapat menyatu dengan Allah ta’ala. Kesalahan ini sangat jelas merupakan kerusakan dalam agama dan akal sekaligus, bagaimana bisa Allah ta’ala Yang Maha Suci menyatu dengan makhluk yang kotor lagi penuh dosa dan kekurangan?! Lalu siapa yang menyembah dan siapa yang disembah?!


Kesalahan Ketiga: Tafsir Berdasar Terjemahan: Mengartikan kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Tuhan / Sesembahan Selain Allah [لا معبود إلا الله].


Penerjemahan ini kurang tepat karena bertentangan dengan kenyataan yang ada, yaitu banyaknya tuhan atau sesembahan lain selain Allah ta’ala, maka yang benar, “Tiada yang berhak disembah selain  Allah.” Artinya, walaupun banyak tuhan yang disembah manusia selain Allah ta’ala, namun semuanya adalah sesembahan yang salah, sedangkan yang benar hanya Allah ta’ala.


Kesalahan Keempat: Tafsir Hizbiyun (Kelompok Sesat Kontemporer seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir): Menafsirkan Kalimat Laa Ilaaha Illallah dengan Tiada Penentu Hukum kecuali Allah [لا حاكم إلا الله].


Benar bahwa tidak ada yang berhak menentukan hukum selain Allah ta’ala, akan tetapi ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa itu bukan makna Laa ilaaha illallah, sebab tafsir tersebut tidak mengandung maknanya secara menyeluruh, yaitu memurnikan seluruh bentuk penghambaan (termasuk hukum) hanya kepada Allah ta’ala.


Dampak buruk dari penafsiran yang menyimpang ini adalah munculnya pemahaman takfir (pengkafiran) terhadap kaum muslimin yang tidak menerapkan hukum Allah secara menyeluruh atau melakukan dosa-dosa besar yang tidak sampai pada kekafiran. Juga muncul pemahaman sesat bahwa Khilafah Islamiyah adalah tujuan dakwah, sehingga yang mereka dengung-dengungkan selalu hanyalah bagaimana agar dapat berkuasa secepatnya tanpa memperhatikan penegakkan tauhid dan sunnah. Padahal Khilafah Islamiyah hanyalah sebuah hasil yang akan diraih oleh kaum muslimin jika mereka benar-benar menegakkan tauhid dan sunnah. Justru keadaan mereka sangat jauh dari tauhid dan sunnah.


Kesalahan Kelima: Tafsir Jahmiyah dan Mu’tazilah: Barangsiapa yang Menetapkan Nama dan Sifat bagi Allah Ta’ala maka Dia Seorang Musyrik menurut pemahaman sesat mereka.


Kaum Jahmiyah dan Mu’tazilah tidak mengimani seluruh atau sebagian nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala, bahkan menurut mereka barangsiapa yang mengimaninya berarti telah menyekutukan Allah ta’ala. Tidak diragukan lagi ini adalah tafsir yang sesat, karena seorang mukmin wajib meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak menyamakan-Nya dengan makhluk.

Kunci surga adalah Tauhid.


ketahuilah ya ikhwah, sesungguh nya sebaik dan sebanyak apapun amal shalih yang di lakukan, bila tanpa di landasi dengan tauhid yang bersih, semua nya sia-sia..



مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ




“Siapa yang melakukan amal shalih, baik laki-laki atau perempuan sedang dia itu mukmin, maka Kami akan berikan kepadanya penghidupan yang baik serta Kami akan memberikan kepadanya balasan dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan”                                                                                                     (QS. An Nahl [16]: 97).




Ya ikhwah sesungguh nya dalam ayat ini Allah menetapkan pahala amal shalih hanya bagi orang mukmin, Lantas bagaimana orang yang menyekutukan Allah..?




لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ




“Sungguh, bila kamu berbuat syirik maka hapuslah amalanmu, dan sunguh kamu tergolong orang-orang yang rugi”                                                              (QS. Az Zumar [39]: 65)




Sebaik apapun amal shalih yang di lakukan seseorang, tapi bila dia syirik maka sia-sia lah amal nya dan tak tersisa sedikit pun,




مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ




“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka (orang-orang musyrik/ kafir) adalah bagaikan debu yang diterpa oleh angin kencang di hari yang penuh badai”                                                                                                         (QS. Ibrahim [14]: 18)




ya amalan mereka lenyap bagaikan debu yang di terpa oleh angin yang penuh badai..




sesungguh nya kewajiban pertama kali yang harus di lakukan seorang mukmin adalah mentauhidkan Allah dan berlepas dari segala bentuk kesyirikan..




و حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي الْأَسْوَدِ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أُمَيَّةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ صَيْفِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا مَعْبَدٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ يَقُولُ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ لَمَّا بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى نَحْوِ أَهْلِ الْيَمَنِ قَالَ لَهُ إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى فَإِذَا عَرَفُوا ذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا صَلَّوْا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ فَإِذَا أَقَرُّوا بِذَلِكَ فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ




engkau mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah pertama-tama yg engkau sampaikan adalah agar mereka mentauhidkan Allah ta'ala. Jika mereka telah sadar terhadap hal ini, beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan lima shalat kepada mereka dalam sehari semalam. Jika mereka telah shalat, beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan zakat harta mereka, yg diambil dari yg kaya, & diberikan kepada yg miskin, & jika mereka telah mengikrarkan yg demikian, ambilah harta mereka & jagalah harta mereka yg kesemuanya harus dijaga kehormatannya.




(HR.Bukhari No.6824)




Dan inilah janji Allah bagi orang yang beriman dan beramal shalih.




Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.                                                                           (QS. Al Baqarah 82)




Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.                                                            (QS. Al Hajj 14)




Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Rabb mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam syurga itu ialah “salaam”     (QS. Ibrahim 23)




مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ يُشْرِكُ بِه شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ



“Barangsiapa bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, niscaya dia akan masuk surga.” (H.R. Muslim)



Inilah janji Allah bagi orang beriman, dengan syarat Tauhid nya harus bersih dari segala bentuk kesyirikan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar