Jumat, 25 April 2014

Iktikaf

Butiran-butiran air mata tak ingin kuhapus
Biarlah dia menghiasi pipi malam ini
Berteman sunyi dan sepi di rumah Engkau Ya Allah
Meratap pilu, mengingat dosa yang banyak
Seperti buih dilautan, tak sanggup tuk menghitung
Aku tau Ya Allah , maaf Mu pun teramat banyak
Melebihi banyak nya butiran pasir di tepi pantai
Aku datang lagi di malam ke duapuluh tiga ini
Hanya mengharap ampunan dan Kasih Sayang Mu
Mesjid ini terlihat sepi dan hening,
Hanya isakan tangis dari hamba-hamba Mu yang yakin
Engkau akan turun memberi seribu maaf dan seribu rahmat
Ya Allah di mesjid berteman sepi dan air mata,
Aku ingin Engkau mengusap air mata ini
Aku ingin Engkau membelai rambut ini
Dalam rengkuhan Cinta Mu yang tak pernah usai.
 
Iktikaf  secara leksikal bermakna bermukim dan berdiam di suatu tempat untuk mengerjakan suatu urusan. Iktikaf secara teknikal (terminologis) dalam syariat Islam bermakna bermukim dan berdiam di suatu tempat suci untuk ber-taqarrub kepada Allah Swt.
Iktikaf adalah kesempatan emas bagi manusia yang karam dalam lautan dunia untuk menengok dan menata kembali dirinya. Iktikaf dilakukan dengan maksud mengeksplorasi pelbagai nilai-nilai moril dan spiritual, dalam pada itu, orang yang beriktikaf menarik diri dari gemerlapnya dunia dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt.
Dalam kondisi Iktikaf, ia bermohon kepada Allah Swt untuk ditetapkan di jalan yang benar sehingga ia dapat terhubungkan dengan samudera tak-terbatas kasih dan sayang Ilahi yang seluruhnya adalah ampunan dan rahmat.

Iktikaf tidak terkhusus agama Islam saja, melainkan terdapat juga pada agama-agama Ilahi yang lain dan terus berlanjut dalam agama Islam. Meski boleh jadi dalam syariat suci Islam sebagian dari tipologi, hukum dan syaratnya telah mengalami perubahan.
Semenjak Rasulullah Saw mengajarkan ritual Iktikaf kepada kaum Muslimin, tradisi islami ini menyebar di kalangan kaum Muslimin. Pada masa sekarang ini, acara iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan diselenggarakan dengan meriah di pelbagai negeri Islam seperti Saudi Arabia (Mekkah). Setiap tahunnya, kaum Muslimin dalam jumlah yang besar, yang mayoritas diikuti oleh kaum muda, bergegas menuju Masjid al-Haram untuk melakukan ritual iktikaf dan beriktikaf di samping Ka’bah. Bahkan kebanyakan peziarah memilih hari-hari penuh berkah ini untuk menunaikan umrah mufradah dan melakukan iktikaf di Baitullah al-Haram dalan rangka mendulang keutamaan iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.    
Perayaan yang serupa dengan ini juga berlangsung di Masjid al-Nabi dan di samping pusara suci Rasulullah Saw. Demikian juga, Masjid Kufah di Irak, setiap tahunnya orang-orang turut serta dalam penyelenggaraan ritual Iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Orang-orang Syiah dan pengikut Ahlulbait dalam jumlah besar melakukan ritual iktikaf di masjid suci ini dan kebanyakan ulama besar Syiah juga turut serta bersama masyarakat melakukan iktikaf.

Memutuskan diri sementara waktu dari urusan materi dan duniawi, bermukim di masjid dan melanggengkan zikir serta ibadah, tanpa melakukan iktikaf, dengan sendirinya memiliki nilai yang tinggi dan signifikansi yang penting. Dalam hal ini, terdapat banyak ayat, riwayat dan hadis-hadis yang mengandung nilai tinggi tersebut. Namun signifikansi iktikaf secara khusus disebutkan dan dinyatakan dalam al-Qur’an.
Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) itu tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqâm Ibrahim sebagai tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, “Bersihkanlah rumah-Ku (ini) untuk orang-orang yang melakukan tawaf, yang beriktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (Qs. Al-Baqarah [2]:125)
Sebagian syarat I’itikaf dijelaskan pada ayat lain dalam al-Qur’an.[1]
Iktikaf dari sudut pandang waktu pelaksanaan, tidak terbatas pada satu waktu tertentu. Hanya saja kemestian berIktikaf adalah orang harus berpuasa. Anda dapat melakukan Iktikaf tatkala secara syar’i Anda dapat menjalankan puasa. Karena itu, kapan saja puasa dapat dilakukan dengan benar dan sahih maka Iktikaf juga akan benar dan sahih. Namun sebaik-baik waktu untuk Iktikaf adalah sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan hari-hari putih (ayyam al-baidh) bulan Rajab. Iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sangat pantas dan bahkan ideal mempersiapkan manusia untuk mendapatkan malam Qadar dan mengeksplorasi emanasi Ilahi pada malam yang sangat berharga ini.
Apa yang disebutkan pada sebagian riwayat dimana Rasulullah Saw mengkhususkan diri beriktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir ini.[2] dan bahkan tahun ketika perang Badar bertepatan dengan bulan Ramadhan, maka bulan Ramadhan pada tahun berikutnya, beliau menebusnya dengan menyibukkan diri beriktikaf selama dua minggu di masjid.[3]
Di Iran dewasa ini, pada tiga hari bulan Rajab, lebih banyak diikuti ketimbang Iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tiga hari bulan Rajab ini memiliki dua hal penting sebagiamana berikut ini:
Pertama, bulan Rajab adalah bulan haram (yang dimuliakan dan dihormati) dan dapat disimpulkan dari sebagian riwayat bahwa Iktikaf pada bulan-bulan haram memiliki keutamaan dibanding dengan bulan-bulan lain.
Kedua, bulan Rajab memiliki keutamaan tersendiri, karena bulan Rajab adalah bulan agung yang dihormati oleh masyarakat bahkan pada masa jahiliyyah. Islam juga menambahkan kehormatan dan kemuliaan tersebut.[4] Nampaknya perilaku dan keyakinan seperti ini terhadap bulan Rajab telah mengakar pada masyarakat termasuk dari berbagai agama Ilahi lainya.
 
Iktikaf dari sudut pandang ruang (tempat) memiliki tempat tertentu. Pandangan yang popular adalah bahwa Iktikaf hanya dibolehkan pada salah satu empat masjid (Masjid al-Haram, Masjid al-Nabi, Masjid Kufah, Masjid Bashrah). Imam Ridha As bersabda, “Semalam iktikaf di Masjid al-Nabi dan di samping pusaranya sebanding dengan satu haji dan satu umrah.”[5] Meski sebagian juris dan fakih memandang boleh melakukan iktikaf di masjid raya (jami) di setiap kota dan kabupaten.[6]
Namun sehubungan dengan masjid raya juga sebagian berpandangan bahwa Iktikaf di masjid raya dengan maksud raja’ dengan harapan semoga mendapatkan pahala di sisi Allah Swt.[7]
Adapun iktikaf di masjid-masjid lain, seperti masjid di tempat tinggal dan pasar hanya dibolehkan oleh sebagian kecil fakih Syiah.[8] Yang dimaksud dengan masjid raya (jami) pada setiap kota dan kabupaten adalah sebuah masjid yang biasanya masyarakat lebih banyak berkumpul di tempat itu.[9]Dengan kata lain, masjid rayalah yang lebih banyak jamaahnya pada kebanyakan waktu (salat).[10]
Di sini boleh jadi sebuah pertanyaan mengemuka bahwa apakah dengan memperhatikan pengaruh konstruktif iktikaf tidakkah lebih baik kita memandang boleh melakukan iktikaf di masjid manapun sehingga siapa saja dapat mengambil manfaat dari ibadah seperti ini?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa ibadah-ibadah dalam Islam seluruhnya bersifat tauqifi (dari sononya); artinya bahwa syarat-syarat dan hukum-hukumnya harus diambil dari instruksi-instruksi syar’i dan teks-teks Islami. Kapan saja dalil-dalil standar digunakan bahwa tempat penyelanggaraan iktikaf adalah di masjid raya maka kita tidak dapat mengikut selera dan mood pribadi untuk turut campur dalam menentukan syarat ibadah dan meluaskan cakupannya.
Pada dasarnya, sebagian ibadah, dari sudut pandang tempat pelaksanaan, memiliki keterbatasan tertentu; seperti tempat pelaksanaan ritual dan amalan haji yang harus ditunaikan pada tempat-tempat tertentu. Karena itu, tidak sahih mengerjakan amalan-amalan haji selain pada tempat yang telah ditentukan.
Hal ini juga berlaku bagi pelaksanaan Iktikaf. Kapan saja ditetapkan dengan dalil-dalil standar yang menyatakan bahwa tempat pelaksanannya harus bertempat di masjid raya maka dapat kita pahami bahwa Syari’ Muqaddas (Allah Swt) menghendaki ibadah ini dikerjakan hanya di tempat tertentu ini. Dalam pensyariatan hukum ini tentu saja terkandung kemaslahatan yang boleh jadi tidak mampu dicerap oleh akal kita. Boleh jadi Islam dengan membatasi tempat pelaksanaan iktikaf di masjid raya ingin melakukan kontrol terhadap kualitas dan kuantitas pelaksanaan iktikaf dan di samping itu, Islam memberikan perhatian terhadap nilai-nilai lainya seperti kesatuan, kebersamaan dan kesehatian.[11][IQuest]

Hadis tentang Iktikaf
1.   Iktikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadan
      •   Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
      Bahwa Nabi saw. selalu iktikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadan. (Shahih Muslim No.2002)
2.   Bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan
      •  Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Adalah Rasulullah saw. jika telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, beliau menghidupkan malam (untuk beribadah), membangunkan istri-istrinya, bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dan menjauhi istri. (Shahih Muslim No.2008)
      •  Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Adalah Rasulullah saw., beliau bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, tidak seperti pada hari lainnya. (Shahih Muslim No.2009)

Dasar hukum iktikaf

Dasar hukum iktikaf adalah Al -quran dan hadis. Iktikaf berarti tinggal di dalam masjid yang dila kukan oleh seseorang dengan niat. Dalam Alquran surat al Baqarah ayat 125 yang artinya, “Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail; bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.”
Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Anas bin Malik, dan Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq dijelaskan bahwa Rasulullah SAW melakukan iktikaf pada 10 hari terakhir bulan Rama dhan, sejak Nabi datang di Madinah hingga wafatnya. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para ulama baik dari mazhab Maliki, Hanafi, Syafii dan Hambali, se pakat tentang adanya iktikaf.

Iktikaf bertujuan membersihkan hati pada waktuwaktu tertentu karena Allah SWT, melepaskan diri dari kesibukan keduniaan dengan menye rahkan diri kepada Allah SWT, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengharap rahmat-Nya.

Iktikaf dapat berlangsung selama bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan. Para ulama berbeda pendapat tentang lama beriktikaf. Ulama dari Mazhab Hanafi mengatakan ikti kaf itu sunah pada waktu-waktu tertentu, yang mudah bagi pelakunya wa laupun hanya sesaat, tanpa disyariatkan berpuasa.

Sementara menurut ulama Mazhab Maliki, waktu iktikaf itu sekurang-kurangnya sehari semalam dan lebih baik lagi kalau tidak kurang dari 10 hari dengan syarat berpuasa, baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan itu.

Mereka berpendapat tidak sah iktikaf seseorang yang tidak berpuasa karena suatu halangan atau tidak sanggup berpuasa. Ulama dari Mazhab Syafii mensyaratkan iktikaf harus tinggal dalam waktu tertentu yang lamanya sama dengan waktu tuma’ninah(berhenti sebentar) dalam rukuk dan sujud. Adapun menurut ula ma dari Mazhab Hanbali, ikti kaf sekurangkurangnya berlangsung selama satu jam.

Menurut ahli fikih Mesir, Wahbah al Zuhaili, sah melakukan iktikaf da lam keadaan berikut, pertama, dila kukan di luar waktu shalat, seperti waktu malam. Kedua, yang mela ku kan iktikaf adalah orang yang tidak mempunyai halangan untuk meng ikuti shalat jamaah. Syarat sah iktikaf antara lain; pertama, Islam, kedua, berakal, ketiga, di dalam masjid, tidak sah kalau di rumah. Keempat, berniat, dan kelima, berpuasa.

Menurut Mazhab Maliki, berpuasa adalah syarat mutlak. Mazhab Hanafi menganggap puasa adalah syarat dalam iktikaf nazar. Sementara menurut Mazhab Syafii dan Hanbali, puasa tidak disyaratkan.


Ada hal-hal yang disunahkan bagi mu’takif(orang yang beriktikaf) yakni, sedapat mungkin melakukan kegiatan membaca Alquran, berdzikir, beristigh far, bertafakur, mengucapkan shalawat Nabi SAW, menafsirkan Alquran, berpuasa menurut jumhur ulama, berada di dalam masjid jami, dilakukan di bulan Ramadhan, dan menghindari perkataan serta per buat an yang tidak bermanfaat baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar