Butiran-butiran air mata
tak ingin kuhapus
Biarlah dia menghiasi pipi malam ini
Berteman sunyi dan sepi di rumah Engkau Ya Allah
Meratap pilu, mengingat dosa yang banyak
Seperti buih dilautan, tak sanggup tuk menghitung
Biarlah dia menghiasi pipi malam ini
Berteman sunyi dan sepi di rumah Engkau Ya Allah
Meratap pilu, mengingat dosa yang banyak
Seperti buih dilautan, tak sanggup tuk menghitung
Aku tau Ya Allah , maaf
Mu pun teramat banyak
Melebihi banyak nya butiran pasir di tepi pantai
Aku datang lagi di malam ke duapuluh tiga ini
Hanya mengharap ampunan dan Kasih Sayang Mu
Melebihi banyak nya butiran pasir di tepi pantai
Aku datang lagi di malam ke duapuluh tiga ini
Hanya mengharap ampunan dan Kasih Sayang Mu
Mesjid ini terlihat sepi
dan hening,
Hanya isakan tangis dari hamba-hamba Mu yang yakin
Engkau akan turun memberi seribu maaf dan seribu rahmat
Hanya isakan tangis dari hamba-hamba Mu yang yakin
Engkau akan turun memberi seribu maaf dan seribu rahmat
Ya Allah di mesjid
berteman sepi dan air mata,
Aku ingin Engkau mengusap air mata ini
Aku ingin Engkau membelai rambut ini
Dalam rengkuhan Cinta Mu yang tak pernah usai.
Aku ingin Engkau mengusap air mata ini
Aku ingin Engkau membelai rambut ini
Dalam rengkuhan Cinta Mu yang tak pernah usai.
Iktikaf secara leksikal bermakna bermukim
dan berdiam di suatu tempat untuk mengerjakan suatu urusan. Iktikaf secara
teknikal (terminologis) dalam syariat Islam bermakna bermukim dan berdiam di
suatu tempat suci untuk ber-taqarrub kepada
Allah Swt.
Iktikaf
adalah kesempatan emas bagi manusia yang karam dalam lautan dunia untuk
menengok dan menata kembali dirinya. Iktikaf dilakukan dengan maksud
mengeksplorasi pelbagai nilai-nilai moril dan spiritual, dalam pada itu, orang
yang beriktikaf menarik diri dari gemerlapnya dunia dan menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Allah Swt.
Dalam
kondisi Iktikaf, ia bermohon kepada Allah Swt untuk ditetapkan di jalan yang
benar sehingga ia dapat terhubungkan dengan samudera tak-terbatas kasih dan
sayang Ilahi yang seluruhnya adalah ampunan dan rahmat.
Latar Sejarah Iktikaf
Iktikaf
tidak terkhusus agama Islam saja, melainkan terdapat juga pada agama-agama
Ilahi yang lain dan terus berlanjut dalam agama Islam. Meski boleh jadi dalam
syariat suci Islam sebagian dari tipologi, hukum dan syaratnya telah mengalami
perubahan.
Semenjak
Rasulullah Saw mengajarkan ritual Iktikaf kepada kaum Muslimin, tradisi islami
ini menyebar di kalangan kaum Muslimin. Pada masa sekarang ini, acara iktikaf
pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan diselenggarakan dengan meriah di
pelbagai negeri Islam seperti Saudi
Arabia (Mekkah). Setiap tahunnya, kaum
Muslimin dalam jumlah yang besar, yang mayoritas diikuti oleh kaum muda,
bergegas menuju Masjid al-Haram untuk melakukan ritual iktikaf dan beriktikaf
di samping Ka’bah. Bahkan kebanyakan peziarah memilih hari-hari penuh
berkah ini untuk menunaikan umrah mufradah dan melakukan iktikaf di Baitullah
al-Haram dalan rangka mendulang keutamaan iktikaf pada sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan.
Perayaan
yang serupa dengan ini juga berlangsung di Masjid al-Nabi dan di samping pusara
suci Rasulullah Saw. Demikian juga, Masjid Kufah di Irak, setiap tahunnya
orang-orang turut serta dalam penyelenggaraan ritual Iktikaf pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan. Orang-orang Syiah dan pengikut Ahlulbait dalam jumlah
besar melakukan ritual iktikaf di masjid suci ini dan kebanyakan ulama besar
Syiah juga turut serta bersama masyarakat melakukan iktikaf.
Memutuskan
diri sementara waktu dari urusan materi dan duniawi, bermukim di masjid dan
melanggengkan zikir serta ibadah, tanpa melakukan iktikaf, dengan sendirinya
memiliki nilai yang tinggi dan signifikansi yang penting. Dalam hal ini,
terdapat banyak ayat, riwayat dan hadis-hadis yang mengandung nilai tinggi
tersebut. Namun signifikansi iktikaf secara khusus disebutkan dan dinyatakan
dalam al-Qur’an.
Allah
Swt dalam al-Qur’an berfirman, “Dan
(ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) itu tempat berkumpul bagi
manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqâm Ibrahim sebagai
tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail,
“Bersihkanlah rumah-Ku (ini) untuk orang-orang yang melakukan tawaf, yang
beriktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (Qs. Al-Baqarah [2]:125)
Sebagian
syarat I’itikaf dijelaskan pada ayat lain dalam al-Qur’an.[1]
Iktikaf
dari sudut pandang waktu pelaksanaan, tidak terbatas pada satu waktu tertentu.
Hanya saja kemestian berIktikaf adalah orang harus berpuasa. Anda dapat
melakukan Iktikaf tatkala secara syar’i Anda dapat menjalankan puasa. Karena
itu, kapan saja puasa dapat dilakukan dengan benar dan sahih maka Iktikaf juga
akan benar dan sahih. Namun sebaik-baik waktu untuk Iktikaf adalah sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan hari-hari putih (ayyam al-baidh) bulan Rajab.
Iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sangat pantas dan bahkan
ideal mempersiapkan manusia untuk mendapatkan malam Qadar dan mengeksplorasi
emanasi Ilahi pada malam yang sangat berharga ini.
Apa
yang disebutkan pada sebagian riwayat dimana Rasulullah Saw mengkhususkan diri
beriktikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir ini.[2] dan bahkan tahun ketika perang Badar
bertepatan dengan bulan Ramadhan, maka bulan Ramadhan pada tahun berikutnya,
beliau menebusnya dengan menyibukkan diri beriktikaf selama dua minggu di
masjid.[3]
Di
Iran dewasa ini, pada tiga hari bulan Rajab, lebih banyak diikuti ketimbang
Iktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tiga hari bulan Rajab ini
memiliki dua hal penting sebagiamana berikut ini:
Pertama,
bulan Rajab adalah bulan haram (yang dimuliakan dan dihormati) dan dapat
disimpulkan dari sebagian riwayat bahwa Iktikaf pada bulan-bulan haram memiliki
keutamaan dibanding dengan bulan-bulan lain.
Kedua,
bulan Rajab memiliki keutamaan tersendiri, karena bulan Rajab adalah bulan
agung yang dihormati oleh masyarakat bahkan pada masa jahiliyyah. Islam juga
menambahkan kehormatan dan kemuliaan tersebut.[4] Nampaknya perilaku dan keyakinan
seperti ini terhadap bulan Rajab telah mengakar pada masyarakat termasuk dari
berbagai agama Ilahi lainya.
Iktikaf
dari sudut pandang ruang (tempat) memiliki tempat tertentu. Pandangan yang
popular adalah bahwa Iktikaf hanya dibolehkan pada salah satu empat masjid
(Masjid al-Haram, Masjid al-Nabi, Masjid Kufah, Masjid Bashrah). Imam Ridha As
bersabda, “Semalam iktikaf di Masjid al-Nabi dan di samping pusaranya sebanding
dengan satu haji dan satu umrah.”[5] Meski sebagian juris dan fakih
memandang boleh melakukan iktikaf di masjid raya (jami) di setiap kota dan kabupaten.[6]
Namun
sehubungan dengan masjid raya juga sebagian berpandangan bahwa Iktikaf di
masjid raya dengan maksud raja’ dengan harapan semoga mendapatkan
pahala di sisi Allah Swt.[7]
Adapun
iktikaf di masjid-masjid lain, seperti masjid di tempat tinggal dan pasar hanya
dibolehkan oleh sebagian kecil fakih Syiah.[8] Yang dimaksud dengan masjid raya
(jami) pada setiap kota
dan kabupaten adalah sebuah masjid yang biasanya masyarakat lebih banyak
berkumpul di tempat itu.[9]Dengan
kata lain, masjid rayalah yang lebih banyak jamaahnya pada kebanyakan waktu
(salat).[10]
Di
sini boleh jadi sebuah pertanyaan mengemuka bahwa apakah dengan memperhatikan
pengaruh konstruktif iktikaf tidakkah lebih baik kita memandang boleh melakukan
iktikaf di masjid manapun sehingga siapa saja dapat mengambil manfaat dari
ibadah seperti ini?
Dalam
menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa ibadah-ibadah dalam Islam
seluruhnya bersifat tauqifi (dari sononya); artinya bahwa
syarat-syarat dan hukum-hukumnya harus diambil dari instruksi-instruksi syar’i
dan teks-teks Islami. Kapan saja dalil-dalil standar digunakan bahwa tempat
penyelanggaraan iktikaf adalah di masjid raya maka kita tidak dapat mengikut
selera dan mood pribadi untuk turut campur dalam menentukan syarat ibadah dan
meluaskan cakupannya.
Pada
dasarnya, sebagian ibadah, dari sudut pandang tempat pelaksanaan, memiliki
keterbatasan tertentu; seperti tempat pelaksanaan ritual dan amalan haji yang
harus ditunaikan pada tempat-tempat tertentu. Karena itu, tidak sahih
mengerjakan amalan-amalan haji selain pada tempat yang telah ditentukan.
Hal
ini juga berlaku bagi pelaksanaan Iktikaf. Kapan saja ditetapkan dengan
dalil-dalil standar yang menyatakan bahwa tempat pelaksanannya harus bertempat
di masjid raya maka dapat kita pahami bahwa Syari’ Muqaddas (Allah Swt)
menghendaki ibadah ini dikerjakan hanya di tempat tertentu ini. Dalam
pensyariatan hukum ini tentu saja terkandung kemaslahatan yang boleh jadi tidak
mampu dicerap oleh akal kita. Boleh jadi Islam dengan membatasi tempat
pelaksanaan iktikaf di masjid raya ingin melakukan kontrol terhadap kualitas
dan kuantitas pelaksanaan iktikaf dan di samping itu, Islam memberikan
perhatian terhadap nilai-nilai lainya seperti kesatuan, kebersamaan dan
kesehatian.[11][IQuest]
Hadis
tentang Iktikaf
1.
Iktikaf pada sepuluh terakhir bulan
Ramadan
•
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Nabi saw. selalu iktikaf pada
sepuluh terakhir bulan Ramadan. (Shahih Muslim No.2002)
2.
Bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadan
•
Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Adalah Rasulullah saw. jika telah masuk sepuluh hari terakhir
bulan Ramadan, beliau menghidupkan malam (untuk beribadah), membangunkan
istri-istrinya, bersungguh-sungguh (dalam ibadah) dan menjauhi istri. (Shahih
Muslim No.2008)
•
Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
Adalah
Rasulullah saw., beliau bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadan, tidak seperti pada hari lainnya. (Shahih Muslim No.2009)
Dasar hukum iktikaf
Dasar hukum iktikaf
adalah Al -quran dan hadis. Iktikaf berarti tinggal di dalam masjid yang dila
kukan oleh seseorang dengan niat. Dalam Alquran surat al Baqarah ayat 125 yang artinya, “Dan
telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail; bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.”
Hadis riwayat Bukhari
dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Anas bin Malik, dan Aisyah binti
Abu Bakar as-Shiddiq dijelaskan bahwa Rasulullah SAW melakukan iktikaf pada 10
hari terakhir bulan Rama dhan, sejak Nabi datang di Madinah hingga wafatnya.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para ulama baik dari mazhab Maliki, Hanafi,
Syafii dan Hambali, se pakat tentang adanya iktikaf.
Iktikaf bertujuan
membersihkan hati pada waktuwaktu tertentu karena Allah SWT, melepaskan diri
dari kesibukan keduniaan dengan menye rahkan diri kepada Allah SWT, dan
mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengharap rahmat-Nya.
Iktikaf dapat
berlangsung selama bulan Ramadhan dan di luar bulan Ramadhan. Para
ulama berbeda pendapat tentang lama beriktikaf. Ulama dari Mazhab Hanafi
mengatakan ikti kaf itu sunah pada waktu-waktu tertentu, yang mudah bagi
pelakunya wa laupun hanya sesaat, tanpa disyariatkan berpuasa.
Sementara menurut ulama
Mazhab Maliki, waktu iktikaf itu sekurang-kurangnya sehari semalam dan lebih
baik lagi kalau tidak kurang dari 10 hari dengan syarat berpuasa, baik dalam
bulan Ramadhan maupun di luar bulan itu.
Mereka berpendapat tidak
sah iktikaf seseorang yang tidak berpuasa karena suatu halangan atau tidak
sanggup berpuasa. Ulama dari Mazhab Syafii mensyaratkan iktikaf harus tinggal
dalam waktu tertentu yang lamanya sama dengan waktu tuma’ninah(berhenti
sebentar) dalam rukuk dan sujud. Adapun menurut ula ma dari Mazhab Hanbali,
ikti kaf sekurangkurangnya berlangsung selama satu jam.
Menurut ahli fikih
Mesir, Wahbah al Zuhaili, sah melakukan iktikaf da lam keadaan berikut,
pertama, dila kukan di luar waktu shalat, seperti waktu malam. Kedua, yang mela
ku kan
iktikaf adalah orang yang tidak mempunyai halangan untuk meng ikuti shalat
jamaah. Syarat sah iktikaf antara lain; pertama, Islam, kedua, berakal, ketiga,
di dalam masjid, tidak sah kalau di rumah. Keempat, berniat, dan kelima,
berpuasa.
Menurut Mazhab Maliki,
berpuasa adalah syarat mutlak. Mazhab Hanafi menganggap puasa adalah syarat
dalam iktikaf nazar. Sementara menurut Mazhab Syafii dan Hanbali, puasa tidak
disyaratkan.
Ada hal-hal yang
disunahkan bagi mu’takif(orang yang beriktikaf) yakni, sedapat mungkin
melakukan kegiatan membaca Alquran, berdzikir, beristigh far, bertafakur,
mengucapkan shalawat Nabi SAW, menafsirkan Alquran, berpuasa menurut jumhur
ulama, berada di dalam masjid jami, dilakukan di bulan Ramadhan, dan
menghindari perkataan serta per buat an yang tidak bermanfaat baginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar